20120227

FPUB YOGYAKARTA BERULANG TAHUN YANG KE 15

   
Laporan : Abu Anis

“Merajut Persaudaraan Sejati, Membangun Indonesia Baru”  sebuah tema menarik yang diusung pada perayaan ulang-tahun Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogyakarta yang di gelar pada hari minggu malam, 26 Pebruari 2012 di halaman Markas Barunya, Komplek Perumahan Kolombo – Yogyakarta.


“FPUB pada awalnya lahir sebagai jawaban terhadap munculnya persoalan bangsa, ketika bangsa kita baru saja memasuki gejolak masa perubahan dari era orde lama ke era reformasi, yang ketika itu nilai-nilai persaudaraan bangsa terkoyak-koyak berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Pada waktu itulah, tepatnya tanggal 27 Pebruari 1997 beberapa tokoh elemen bangsa yang ada di Yogyakarta berkumul dan bersepakat membentuk sebuah forum, yang diberi nama FPUB, dengan tujuan membangun nilai-nilai spiritualitas bangsa, mewujudkan persaudaraan sejati”. Demikian antara lain diungkapkan Kyai Abdul Muhaimin, Pengasuh Ponpes “Nurul Umahat” Kota Gede – Yogyakarta, selaku Koordinator FPUB dalam sambutannya.

Hadir dalam tasyakuran ultah FPUB ini sekitar 200 orang mewakili  berbagai elemen masyarakat, antara lain ; NU, Muhammadiyah, Paroki Katolik Turi-Sleman, Gereja Kristen Jawa, GKI, Pantekosta, Atma Jaya, Parisada Hindu Dharma, Budha, Konghuchu, Aliran Kepercayaan, Paguyuban, Sunda Wiwitan dan juga tidak ketinggalan Jema’at Ahmadiyah Yogyakarta. Perwakilan dari Jema’at Ahmadiyah hadir 5 orang, yaitu ; Mln. Nanang Sanusi / Muballigh Wilayah DIY, Bapak H. Suhadi, Bapak Saring Sarjono, Bapak Drs. Silahudin, MSc. Dan Bapak Suseno.

Acara diawali dengan bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya, di pimpin oleh Bapak H. Suhadi, salah-seorang tokoh Ahmadi Yogyakarta. Setelah itu dilanjutkan dengan menyanyikan bersama-sama lagu himne FPUB. Usai menyanyikan lagu bersama-sama, pembawa acara kemudian mengumumkan kepada hadirin, bahwa Bapak H. Suhadi adalah dari Ahmadiyah dan lagu himne FPUB, yang baru saja kita nyanyikan bersama-sama, kata pembawa acara, adalah hasil karangan Bapak H. Suhadi, yang kemudian disambut dengan tepuk tangan meriah dari para hadirin.

Pada acara ultah FPUB ini pula, Jema’at Ahmadiyah Yogyakarta berkesempatan menghadiahkan 10 exemplar buku “Ahmadiyah Menggugat” yang diserahkan kepada Bapak Kyai Abdul Muhaimin, selaku koordinator FPUB. Oleh beliau buku-buku tersebut langsung dibagikan kepada beberapa tokoh elemen yang hadir, antara lain kepada Prof. Dr. Susetiawan, Ketua PW NU DIY.

20120206

Siratun-Nabi : Al-Barzanji, Menaklukkan Perang dengan Cinta


Banyak cara untuk menyatakan cinta kepada Rasulullah saw. Apapun caranya selama tidak menyeleweng dari tuntunan syariah yang diajarkanya kepada para sahabatnya haruslah dihargai. Karena menghormati orang yang mencintai Rasulullah saw sama artinya dengan mencintainya. Begitu pula sebaliknya. Barang siapa yang tidak suka kepada orang yang memuji Rasulullah saw berarti ia pun tidak cinta kepada Rasulullah saw, na’udzubillah. 
 
Al-Barzanji sebenarnya bukanlah nama kitab atau buku, tetapi nama
penulisnya yaitu Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad
al-Barzanji. Seorang sufi dan mufti di kalangan syafi’iyyah asal Madinah
yang lahir pada tahun 1690 M dan meninggal pada 1763 M. Sebutan Albarzanji
sebagai nama marga bagi penulisnya, jauh lebih terkenal dibandingkan dengan
nama kitab itu sendiri yaitu ‘Iqdul Jawahir. Bahkan di wilayah Nusantara
ini, jika sengaja disebutkan nama kitab Iqdul Jawahir banyak orang yang
tidak faham, jauh lebih mafhum jika disebutkan Al-barzanji.
Kata ‘Iqdul Jawahir secara leterlek berarti untaian permata. Sesuai dengan
namanya, kitab ini merepresentasikan Rasulullah saw sebagai uswatun
hasanah. Rasulullah saw bagi dunia seperti untaian mutiara keindahannya
menyilaukan dunia. Oleh karena itu, penulisan kisahnyapun dengan kata-kata
yang indah pula agar sesuai dengan kisahnya. Sosok yang indah, akhlaq yang
indah harus ditulis dengan sastra yang indah. Inilah makna untaian mutiara
Iqdul Jawahir.
Dalam konteks sejarah kelahiran Iqdul Jawahir atau Al-Barzanji, perang
salib yang melibatkan Sultan Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi yang memerintah
dinasti Bani Ayyub dengan tentara Salib (Inggris, Prancis dan Jerman) Pada
tahun 1099 M menjadi latar yang sangat mengharukan. Di tengah himpitan
semangat kemenangan tentara Salib yang sedang merayakan Natal serta
keberhasilan menguasai Masjidil Aqsha, Sultan Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi
mencoba memompa semangat kaum Muslimin dengan menggelar perayaan kelahiran
Rasulullah saw secara besar-besaran. Hal ini dilakukan dengan tujuan
mengimbangi perayaan Natal mereka.
Ide yang disuarakan oleh Sultan Shalahuddin ini sebenarnya berasal dari
iparnya yaitu Mudzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat Bupati)
di Irbil, Suriah Utara. Khalifah An-Nashir yang memegang pemerintahan di
Baghdad amat menyambut baik ide serta seruan ini. Maka pada bulan
Dzulhijjah 579 H / 1183 M, ketika musim haji tiba, Sultan Salahuddin
sebagai penguasa resmi Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah)
menghimbau kepada seluruh jamaah haji, agar sekembalinya dari ibadah haji
segera mentradisikan perayaan maulid Nabi di daerah masing-masing. Oleh
karena itu mulai tahun 580 H / 1184 M tiap tanggal 12 Rabiul Awal harus
dirayakan peringatan Maulid Nabi saw dengan berbagai kegiatan yang dapat
membangkitkan semangat umat Islam.
Ternyata peringatan Maulid Nabi saw yang diselenggarakan Sultan Salahuddin
itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang
Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga
pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut kembali oleh Salahuddin dari
tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa akhirnya kembali menjadi masjid
setelah sempat dijadikan gereja oleh pasukan salip.
Sultan Salahuddin sendiri memperingati peringatan Maulid Nabi saw yang
pertama kali ini dengan menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat hidup
Rasulullah saw. Sayembara ini diikuti oleh Seluruh ulama dan sastrawan pada
zamannya. Dan akhirnya sebagai pemenang adalah Syaikh As-Sayid Ja`far
Al-Barzanji dengan karyanya yang berjudul ‘Iqdul Jawahir.
‘Iqdul Jawahir merupakan biografi Nabi Muhammad saw yang ditulis menurut
gaya puitika Arab. Karya ini terbagi dua: Natsar (prosa) dan Nadzom
(puisi). Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang di dalamnya juga
memuat 355 syair. Seluruhnya menuturkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai
dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa tatkala dilantik
menjadi Nabi. Sementara, bagian Nadzom terdiri atas 16 sub bagian yang
memuat 205 untaian syair.
Sebagaimana karakter syair Arab, ‘Iqdul Jawahir banyak menggunakan berbagai
kata yang diambil dari fenomena alam jagad raya seperti matahari, bulan,
purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Kata-kata itu diolah
sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga
melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi
sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.
Sebagaimana karakter syair Arab, ‘Iqdul Jawahir banyak menggunakan berbagai
kata yang diambil dari fenomena alam jagad raya seperti matahari, bulan,
purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Kata-kata itu diolah
sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga
melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi
sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara.
Dengan demikian Al-Barzanji atau ‘Iqdul Jawahir adalah karya sastra
berasaskan rasa cinta kepada paduka Nabi yang Mulia, yang entah mengapa
karya ini berhasil menyemangati para tentara muslim dalam perang Salip dan
berhasil mengembalikan Masjidil Aqsha. Untaian kata Indah yang dipadukan
dengan tulusnya niat dengan penuh hormat dan harap mampu menarik berkah
dari Rasulullah manusia yang Mulia. Demikian pula dengan pembacaan
al-Barzanji di Nusantara, semua dilakukan dengan penuh pengharapan menanti
syafaat di yaumil qiyamat.
Di kalangan pesantren tradisi membaca Al-barzanji ini disebut dengan
berzanjenan. Bagi kaum Nahdliyyin Al-Barzanji menjadi salah satu cara
bertawassul kepada Rasulullah saw. Dengan menuturkan kisah kehidupan
Rasulullah saw dan bershalawat atasnya, orang mengharap adanya kebaikan
dalam kehidupan.
Di pesantren tradisi membaca Al-Barzanji merupakan sebuah kegiatan yang
dilaksanakan setiap malam jum’at atau malam selasa. Membaca dengan
beramai-ramai, dengan suara lantang dengan kraeasi nada yang bermacam
melahirkan semangat tinggi. Bagi kehidupan santri yang setiap harinya
bergumul dengan kitab kuning, mengaji dan maknani, membaca berzanji adalah
sebuah hiburan tersendiri, disamping juga tabarrukan kepada Kanjeng Nabi
Muhammad Rasulullah saw. Tradisi ini tidak hanya ada dalam dunia pesantren
saja, tetapi juga masyarakat awam. Untuk momen-momen tertentu mereka
bersama-sama membaca Al-barzanji dengan niat tabarrukan kepada Rasulullah
saw. Misalnya ketika hari ketujuh kelahiran seorang bayi, atau ketika
menjelang pesta pernikahan, bisa juga ketika menghuni rumah baru dan lain
sebagainya. Seringkali berzanjenan diiringi dengan rebana atau terbang yang
menggema. Pembaca dan juga sahibul hajat sama seperti Sultan Salahuddin
yang berharap kebaikan dari pembacaan al-Barzanji. Jika tentara salip saja
bisa ditaklukkan apalagi hanya sekedar kejahatan dan keburukan.
Lantas siapakah sebenarya Syaikh As-Sayid Ja’far Al-Barzanji itu? Ia
dilahirkan pada Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 (Desember 1714 M) di
Madinah Al-Munawwaroh serta wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban
tahun 1177 H (6 Februari 1764 M) di Kota Madinah. Beliau dimakamkan di
pemakaman Baqi’. Secara Nasab beliau bersandar langsung hingga Rasulullah
saw. lengkapnya Sayid Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim bin Muhammad bin
Sayid Rasul bin Abdul Sayid bin Abdul Rasul bin Qalandar bin Abdul Sayid
bin Isa bin Husain bin Bayazid bin Abdul Karim bin Isa bin Ali bin Yusuf
bin Mansur bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Ismail bin Al-Imam Musa
Al-Kadzim bin Al-Imam Ja’far As-Sodiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir in
Al-Imam ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Husain bin Sayidah Fathimah Az-Zahra
binti Rasulullah Muhammad Saw.
Syaikh As-Sayid Ja’far Al-Barzanji dikenal sebagai seorang ulama yang
menguasai banyak cabang ilmu, diantaranya ialah ilmu Sharaf, Nahwu,
Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin,
Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, Al-‘Arudh, Kalam, Lughah,
Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijalul Ahadits, dan
Mustholahul Ahadits. Selain itu, Syaikh As-Sayid Ja’far Al-Barzanji, juga
adalah seorang khatib serta pengajar di Masjid Nabawi. Beliau terkenal
bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, namun masyhur pula dengan
karamah serta kemakbulan doanya. Penduduk Madinah acap kali meminta pada
beliau berdo’a untuk turunnya hujan pada musim-musim kemarau.
(Posted by : Dildar / NU Online)